14 Oktober 2010

Adios!?

Adios!
Ini ucapan ternikmat kepada malam yang telah menelantarkanku di kedinian pagi. Meski remeh dalam melatahkannya, tak semua mampu menelan apa yang telah usai terkunyah masa.
***

Seniorita,
Aku tak terlampau peduli, entah sampai kapan lakon-oral itu menelikung kita dalam peruntungan takdir yang menjerat. Memang, Tuhan tak sedang bermain dadu apatah lagi sedang bergaduh menertawakan kejenakaan bumi. Ia, konon dari kumalnya al-Kitab, malah sangat care menelongsorkan tangan-Nya meski harus membelai duri dan menetaskan ceceran darah dari luka yang telah dijilati lucifer,…terkaratkan dan usai. Maka dari lebatnya kumis Nietzhe mengalirlah air liur ratapan, tuhan telah mati. Sekali lagi aku ikut berkabung di redupnya malam, menjelang pagi yang menghardik pementasan. Tentunya penopengan kita atas nama ideologi adalah penyandaran profesionalisme ”yang terpahami”, setidaknya dari perbincangan-perbincangan kita sejak dari terbitnya matahari yang kemarin.

Seniorita,
Aku sudah terlampau tabah untuk tidak sering ber-jejalan di halte-halte, menghadang truk-truk besar yang konon di dalamnya terbungkus matahari dengan keju, tawas dan kondom. Aji mumpung memang teramat lembut untuk dikunyah, tapi itu buat mulut-mulut yang tega mencret tanpa celana dan membiarkan jantungnya dikunyah stroke. Maka kurelakan kakiku menelusuri jalanan panas berdebu, menyinggung nurani traffic light yang banyak dikedip-kedipkan di koran-koran, televisi dan pasar moral. Aku memilih tak berlabel dan tak berharga ketimbang terjual!!.

Seniorita,
Jikalau aku bertanya, “mengapa tak kau tepis juga tangan kekar yang menjamah kemaluanmu itu?”, tegakah seniorita menepiskan lagi (tanyaku ini) menjadi sekumpulan kata prihatin tentang pembungkaman yang didiamkan!?. Ah…seniorita, bahasa kita terlampau pelik untuk lugas dalam kejujuran menjawab pertanyaan. Basa-basi sudah bukan barang basi lagi. Kan ada fresher dan bahan sintetik yang mampu mengawetkannya. Ditambah lagi dengan operasi plastik serta injeksi silikon pada kelamin kita. Segalanya menjadi instant dalam keruwetan kabel-kabel sibernasi. Pun tulisan ini terperangkap di dalamnya.

Tapi seniorita,
Jangan coba-coba ber-milik kehendak untuk berpaling. Lehermu sudah ditumbuhi paku dan kawat berduri penahan massa berontak. Tak ubahnya herder, matamu memang masih sering menjilat empati tapi syaraf simpatimu telah dijadikan tali jemuran kulit-kulit domba yang dianggap deviant. Aku pun mulai jijik padamu, seniorita. Sungguh, aku ingin menjambak rambutmu, tapi tidak sebagai halnya jambakan di masa kecil dulu.
***

Jujur, aku tak pernah menyangka secepat itu gelombang dera dititipkan oleh majikanmu, terlebih ketegaanmu menerimanya hanya karena seniorita nge-fans berat dengan Abraham Lincoln dan rindu sayatan tangis.
Aku sangat kaget seniorita. Terlampau sempit waktuku menjamah penyelesaian acaknya puzzle ini, sebab pagi sudah mengintai dan menembakku jatuh. Roboh tanpa label, tanpa harga.

Adios, seniorita!
Makassar,15 Februari 2005, 04.41wita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

karena kata adalah perisai
silahkan menyelimuti 'diri anda'
dengan perisai yang rasional, berbudaya dan senantiasa tidak bertentangan dengan pancasila & uud 45
...daripada dituduh makar??