14 Oktober 2010

Hikayat Perpindahan (1)

(13/10/2010 Jelang Magrib)
Aku tak habis pikir, dosa apa semalam yang telah kuperbuat hingga malaikat pencolek ingatan tega mengintervensi kembali langkah kakiku menyusuri jalan-jalan menuju Tamalanrea, pinggiran kota Makassar tempat bertenggernya unhas, salah satu kampus (yang mencoba) ternama di KTI.
***
Adzan magrib yang sedang mencoba hipnotis kesibukan kota, bocah-bocah loper koran yang masih genit jajakan berita usang, dua orang cewek berjilbab dengan mimik serius bicara tentang rencana reshufle kabinet si sby; 1 di antaranya seperti sedang menetekkan sebuah buku tentang risalah ikhwanul muslimin.

.. dan tiba-tiba aku seperti dipaksa meringis oleh malaikat pencolek ingatan. Di sepanjang jalan perintis kemerdekaan, telah terpasang aneka atribut dan tenda-tenda mahasiswa. Seorang ibu paruh baya berkacamata pantat botol coba mensipitkan matanya ke arah kerumunan tenda itu “oohh, mahasiswa lagi kumpulkan uang untuk bencana wasior. Kukira tommi apa” lirihnya dan kembali palingkan muka. Aku meringis, bulu kudukku yang telah lama tiarap tiba-tiba meloncat dan menghardik sel-sel darahku, meremas rongga ingatan, memaksanya hadir kembali berada di tengah-tengah kerumunan itu, berdiri dengan kardus-kardus di tangan dan berharap bisa gelitik bencana pindah masuk ke hati para penikmat jalan. Nuraniku yang tak seberapa besarnya, tersedak. Sesaat.
***

(14/10/2010 sekitar 23.00)
Dalam ruangan dingin, aku coba menggigil lagi. Mengundang datangnya kembali situasi kebatinan itu. Tapi ekstase yang kuharap datangnya seperti merpati, jinak sekaligus liar. Aku meradang, marah, sedih, kecewa dan kemudian tak bisa lagi berbuat apa-apa selain coba utak-atik file-file lama dan berharap bisa temukan kembali diriku di sana, di catatan-catatan lama itu. Harus kenali kembali diriku, tekadku diam-diam.

Satu file sudah kutemukan.
Tapi, astaga..tak juga kutemukan kembali diriku di sana.
Mungkin, aku benar-benar telah menyampaikan ucapan perpisahan.
Subhanallah, aku mati
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------


File Lama
(Makassar,15/02/2005, 04.41wita

Adios!?


Adios!
Ini ucapan ternikmat kepada malam yang telah menelantarkanku di kedinian pagi. Meski remeh dalam melatahkannya, tak semua mampu menelan apa yang telah usai terkunyah masa.
***

Seniorita,
Aku tak terlampau peduli, entah sampai kapan lakon-oral itu menelikung kita dalam peruntungan takdir yang menjerat. Memang, Tuhan tak sedang bermain dadu apatah lagi sedang bergaduh menertawakan kejenakaan bumi. Ia, konon dari kumalnya al-Kitab, malah sangat caremenelongsorkan tangan-Nya meski harus membelai duri dan menetaskan ceceran darah dari luka yang telah dijilati lucifer,…terkaratkan dan usai. Maka dari lebatnya kumis Nietzhe mengalirlah air liur ratapan, tuhan telah mati. Sekali lagi aku ikut berkabung di redupnya malam, menjelang pagi yang menghardik pementasan. Tentunya penopengan kita atas nama ideologi adalah penyandaran profesionalisme ”yang terpahami”, setidaknya dari perbincangan-perbincangan kita sejak dari terbitnya matahari yang kemarin.

Seniorita,
Aku sudah terlampau tabah untuk tidak sering ber-jejalan di halte-halte, menghadang truk-truk besar yang konon di dalamnya terbungkus matahari dengan keju, tawas dan kondom. Aji mumpung memang teramat lembut untuk dikunyah, tapi itu buat mulut-mulut yang tega mencret tanpa celana dan membiarkan jantungnya dikunyah stroke. Maka kurelakan kakiku menelusuri jalanan panas berdebu, menyinggung nurani traffic light yang banyak dikedip-kedipkan di koran-koran, televisi dan pasar moral. Aku memilih tak berlabel dan tak berharga ketimbang terjual!!.

Seniorita,
Jikalau aku bertanya, “mengapa tak kau tepis juga tangan kekar yang menjamah kemaluanmu itu?”, tegakah seniorita menepiskan lagi (tanyaku ini) menjadi sekumpulan kata prihatin tentang pembungkaman yang didiamkan!?. Ah…seniorita, bahasa kita terlampau pelik untuk lugas dalam kejujuran menjawab pertanyaan. Basa-basi sudah bukan barang basi lagi. Kan ada fresher dan bahan sintetik yang mampu mengawetkannya. Ditambah lagi dengan operasi plastik serta injeksi silikon pada kelamin kita. Segalanya menjadi instant dalam keruwetankabel-kabel sibernasi. Pun tulisan ini terperangkap di dalamnya.

Tapi seniorita,
Jangan coba-coba ber-milik kehendak untuk berpaling. Lehermu sudah ditumbuhi paku dan kawat berduri penahan massa berontak. Tak ubahnya herder, matamu memang masih sering menjilat empati tapi syaraf simpatimu telah dijadikan tali jemuran kulit-kulit domba yang dianggap deviant. Aku pun mulai jijik padamu, seniorita. Sungguh, aku ingin menjambak rambutmu, tapi tidak sebagai halnya jambakan di masa kecil dulu.
***

Jujur, aku tak pernah menyangka secepat itu gelombang dera dititipkan oleh majikanmu, terlebih ketegaanmu menerimanya hanya karenaseniorita nge-fans berat dengan Abraham Lincoln dan rindu sayatan tangis.
Aku sangat kaget seniorita. Terlampau sempit waktuku menjamah penyelesaian acaknya puzzle ini, sebab pagi sudah mengintai dan menembakku jatuh. Roboh tanpa label, tanpa harga.

Adios, seniorita!

Adios!?

Adios!
Ini ucapan ternikmat kepada malam yang telah menelantarkanku di kedinian pagi. Meski remeh dalam melatahkannya, tak semua mampu menelan apa yang telah usai terkunyah masa.
***

Seniorita,
Aku tak terlampau peduli, entah sampai kapan lakon-oral itu menelikung kita dalam peruntungan takdir yang menjerat. Memang, Tuhan tak sedang bermain dadu apatah lagi sedang bergaduh menertawakan kejenakaan bumi. Ia, konon dari kumalnya al-Kitab, malah sangat care menelongsorkan tangan-Nya meski harus membelai duri dan menetaskan ceceran darah dari luka yang telah dijilati lucifer,…terkaratkan dan usai. Maka dari lebatnya kumis Nietzhe mengalirlah air liur ratapan, tuhan telah mati. Sekali lagi aku ikut berkabung di redupnya malam, menjelang pagi yang menghardik pementasan. Tentunya penopengan kita atas nama ideologi adalah penyandaran profesionalisme ”yang terpahami”, setidaknya dari perbincangan-perbincangan kita sejak dari terbitnya matahari yang kemarin.

Seniorita,
Aku sudah terlampau tabah untuk tidak sering ber-jejalan di halte-halte, menghadang truk-truk besar yang konon di dalamnya terbungkus matahari dengan keju, tawas dan kondom. Aji mumpung memang teramat lembut untuk dikunyah, tapi itu buat mulut-mulut yang tega mencret tanpa celana dan membiarkan jantungnya dikunyah stroke. Maka kurelakan kakiku menelusuri jalanan panas berdebu, menyinggung nurani traffic light yang banyak dikedip-kedipkan di koran-koran, televisi dan pasar moral. Aku memilih tak berlabel dan tak berharga ketimbang terjual!!.

Seniorita,
Jikalau aku bertanya, “mengapa tak kau tepis juga tangan kekar yang menjamah kemaluanmu itu?”, tegakah seniorita menepiskan lagi (tanyaku ini) menjadi sekumpulan kata prihatin tentang pembungkaman yang didiamkan!?. Ah…seniorita, bahasa kita terlampau pelik untuk lugas dalam kejujuran menjawab pertanyaan. Basa-basi sudah bukan barang basi lagi. Kan ada fresher dan bahan sintetik yang mampu mengawetkannya. Ditambah lagi dengan operasi plastik serta injeksi silikon pada kelamin kita. Segalanya menjadi instant dalam keruwetan kabel-kabel sibernasi. Pun tulisan ini terperangkap di dalamnya.

Tapi seniorita,
Jangan coba-coba ber-milik kehendak untuk berpaling. Lehermu sudah ditumbuhi paku dan kawat berduri penahan massa berontak. Tak ubahnya herder, matamu memang masih sering menjilat empati tapi syaraf simpatimu telah dijadikan tali jemuran kulit-kulit domba yang dianggap deviant. Aku pun mulai jijik padamu, seniorita. Sungguh, aku ingin menjambak rambutmu, tapi tidak sebagai halnya jambakan di masa kecil dulu.
***

Jujur, aku tak pernah menyangka secepat itu gelombang dera dititipkan oleh majikanmu, terlebih ketegaanmu menerimanya hanya karena seniorita nge-fans berat dengan Abraham Lincoln dan rindu sayatan tangis.
Aku sangat kaget seniorita. Terlampau sempit waktuku menjamah penyelesaian acaknya puzzle ini, sebab pagi sudah mengintai dan menembakku jatuh. Roboh tanpa label, tanpa harga.

Adios, seniorita!
Makassar,15 Februari 2005, 04.41wita

09 Oktober 2010

Pertobatan Seorang Biadab

maafkan aku tuhan
besok aku masih ingin berbuat dosa

(28/05/09)

08 Oktober 2010

Cinta Semusim

daun2 berguguran
musim berganti
dan mereka berlalu
meninggalkan jejak2 bualan tentang cinta

(1 Juni 2009)

Jangan Lupakan Gincu Merah-mu (surat amarah untuk Andhika Mappasomba)

atas nama gincu merah yang tergores di bibirku
aku kabarkan kegenitan tanda-tanda alam
lewat dedaunan telinga yang meranggas merobek jantung langit
lewat celoteh-celoteh cadas
penghardik suami-suami malas
di usia senja kehamilan

atas nama gincu merah
kita pernah seia-berlawan
menata taman bunga
dengan belati masing-masing
tapi, masihkah kau punya belati?

ah, aku tak percaya kau sudah tak berbelati
mungkin hanya tumpul
atau gagangnya yang retak

datanglah dengan belati itu
bukankah gelanggang tak boleh sepi?

jika kau tak datang
atas nama gincu merah
pergilah jauh-jauh
karena aku punya belati yang tajam

(Mks, 27/12/2009

Simpang Kata

melaju di jalan kata
aku temukan diriku di simpang alfabeta zaman
terkeroyok aksara impian-impian

aku mengeluh tanpa suara tanpa warna
dari kutuk langit dewa pendendam

di simpangan bukit paradox
aku mengeja alam, membaca garis tangan dan mengukir harfiahnya ilmu pasti
tapi tak juga berjodoh dengan bidadari kebahagiaan

lalu aku temukan segumpal buah neraka di gudang tua rumah moyangku
dan kutitipkan di halte-halte
untuk manusia yang lewat
di jalan kata

aku membunuhmu
kau pun harus mati

(Mks, 10/10/2009)