11 November 2008

Pengantar Ilmu Kuasa

1. Merangkak di Atas Trauma; Sebuah Pengantar Tulisan

Tulisan berikut ini adalah citraan penegasan atas kegamangan yang dialami secara psikis oleh penulis. Kegamangan yang terlahir dari trauma yang belum tersembuhkan dan terehabilitasi (entah sampai kapan datangnya berita gembira itu, jika memang akan ada atau setidaknya memang pernah ada sebelumnya).

2. Prolog; Sengketa Otoritas

Alkisah, setelah proses penciptaan makhluk bumi bernama manusia, Tuhan menginstruksikan kepada segenap penghuni surga untuk bersujud kepada manusia yang kemudian bernama Adam tersebut, dan seluruh penghuni surrga ciptaan_nya pun bersujud kepada Adam, terkecuali malaikat yang bernama iblis. Iblis membantah perintah Tuhannya untuk sujud kepada Adam dengan argumentasi kemuliaan penciptaan iblis yang lebih duluan dicipta dari api daripada manusia yang hanya terbuat dari adonan tanah lumpur yang hitam. Tuhan-pun murka dan mengutuk malaikat serta mengusirnya dari rumah surga-Nya.

Pembangkangan malaikat bernama iblis yang kemudian berubah nama menjadi setan, merupakan dan diyakini oleh umat penganut beberapa agama semit adalah tindakan makar dan subversif yang mengancam dan tidak meratifikasi otoritas ketuhanan Tuhan. Sejak itu, setan berpindah dari kepatuhan akan segala otoritas Tuhan menjadi oposisi yanng berebut pengaruh dan pengikut di kalangan anak-cucu Adam. Kisah di atas, bukanlah fiksi biasa (meski tak bisa dikatakan fakta sejarah) karena di kalangan penganut agama-agama sejak zaman purba konsepsi ini tertanam dan disampaikan dengan berbagai ragam instrumen penyampaian sesuai dengan alur perkembangan pengetahuan di setiap zaman.

Pada zaman lampau terdapat sebuah mitos tentang Promotheus yang nekad menyelinap di kediaman Tuhan dan mencuri api ke-Tuhanan, yakni api ilmu-pengetahuan dan menyebarluaskannya kepada manusia di bumi, sehingga manusia tersebut dihukum oleh Tuhan atas kelancangannya. Mitos ini mengingatkan kisah-kisah para wali penganjur agama Islam di Jawa (Walisongo) yang meng-inkuisisi salah seorang wali bernama Syekh Siti Jenar karena menyampaikan ajaran yang menyangkut hakikat pengetahuan dan spiritualitas-transendent (yang saat itu menjadi ilmu rahasia para wali) kepada masyarakat awam.

Sengketa dan konflik memperebutkan kekuasaan, jelas bukanlah barang baru, setidaknya diukur dari usia mitos-mitos, dongeng-dongeng dan usia teks-teks keagamaan yang ada. Terlepas dari kebenaran ataupun hanya isapan jempol belaka, teks-teks tersebut setidaknya menceritakan adanya kondisi, peristiwa ataupun refleksi yang menjadi indeks atas adanya sengketa dan konflik di zaman beredarnya teks-teks tersebut.

Sengketa, terlahir sebagai keniscayaan atas keragaman yang ada. Karenanya, selain bermotifkan pada perebutan sumber daya, sengketa juga disebabkan oleh adanya motif pelestarian identitas primordial atau kelompok dari kepunahan atau perebutan posisi superioritas.

Alur prespektif, pandangan manusia tentang kehidupannya, dapat kita jadikan referensi pertama dalam memahami sengketa/konfllik, antara lain karena latar historis dan karakteristik yang unik, masing-masing dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan, dilahirkan dalam cara hidup tertentu dan karakteristik konsepsi nilai yang dipahami sangat beragam sehingga melahirkan konflik yang secara general bergulir pada lima isu utama, yaitu : kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak (Abdul Syukur Ahmad Bafadal, Analisis Konflik)

3. Kekuasaan dan Instrumen Politik Penguasaan

Kekuasaan, merupakan sebuah istilah yang memiliki pengertian dan makna yang sangta majemuk mengingat keberagaman penggunaannya oleh berbagai cabang ilmu pengetahuan serta dari berbagai sudut pandang yang sangat perspektif. Namun, ada satu prinsip umum yang menjadi definisi operasional yang sangat sederhana dari kekuasaan, yaitu bahwa ia cenderung dipertahankan oleh orang yang memilikinya dan menjadi obyek agigatif yang luar biasa bagi yang menginginkannya.

Kecenderungan umum yang menjadikan manusia untuk senantiasa dapat mengakses dan mencipta kepercayaan inilah yang menjadi daya pendorong yang kuat, sehingga "kehendak untuk berkuasa" (will to power) menjadi sesuatu yang kosmopolit, meski di saat yang sama ada saja yang lebih suka mengambil posisi "kehendak untuk pasrah" (will to submission). Dorongan ini tentunya ada dalam diri setiap orang. Perbedaanya hanya gradual.

Yang membuat definisi kekuasaan menjadi sangat dialektis adalah ketika pengggunaan berbagai ragam instrumen politik kekuasaan pada pencapaianlegitimasi kekuasaan sebagai esensi pengontrolan atas manusia lainnya dalam bentuk penerimaan dan atau dukungan dari mansuai lainnya.

Kekuasaan dalam melanggengkan kondisi status quo-nya secara umum menggunakan beberapa instrumen, di antaranya : kekerasan kursif, dominasi serta hegemoni.

a. Kekerasan Koersif
Adalah Niccolo Machiavelli yang dalam konteks politiknya memnadang kekuasaan sebagai sesuatu yang cenderung dilanggengkan oleh penguasa dengan berbagai cara, sebagaimana tersirat dalam pemikirannya tentang penggunaan cara-cara kekerasan dan represi seperti teror, intimidasi, penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan dalam rangkka mempertahankan kekuasaan. Politik kekerasan ini kebanyakan diterapkan oleh penguasa negara (state) seperti di zaman orde baru Soeharto, Augusto Pinochet, Saddam Husein dan sebagainya.

Malah, Althusser, melihat penggunaan kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan menjadi bagian penting dari sebuah tata struktural rezim penguasa dalam wujud struktur aparatur negara represif, semisal TNI, POLRI, Satpol PP, SKK sampai pemafaatan tenaga milisi bayaran (premanisme).

Kekerasan memang menjadi sangat efektif diterapkan dengan tujuan menciptakan stabilitas dan keamanan dari gejolak sosial dan potensi ledakan protes massa yang ada. Namun, seiring denngan semakin banyaknya rezim-rezim otoriter-militeristik yang menggunakan instrumen kekerasan kursif dan represi yang ditumbangkan dengan gerakan massa aksi (people power), maka pengguanaan instrumen ini menjadi sangat tidak terlalu efektif untuk mengelola kekuasaan demngan murni instrumen kekerasan semata.

b. Dominasi
Beberapa pemikir, terutama pemikir Marxian memandang bahwa telah terjadi dominasi oleh kelas penguasa serta pemilik modal (kaum borjuasi) atas kellompok proletariat dengan pendasaran pada kepemilikan faktor-faktor produksi dalam tata ekonoomi politik liberal. Dominasi Kelas (class domination) yang diperkenalkan oleh Karl Marx dalam Das Kapitalnya menjelaskan bahwa kelas-kelas pekerja (proletariat) dikontrol oleh kekuatan dominasi dari kakum-kaum borjuis, sehingga kekuasaan penguasa menjadi terjaga, karena kepemilikan sumber daya capital serta sarana produksi lannya tidak dimiliki oleh kelompok yang termarginalkan tersebut. Lebih lanjut, Marx menyatakan bahwa telah terjadi dominasi oleh sekelompok elit atas mayoritas yang terbungkam (silent majority). Penggunaan dominasi ini menjadi efektif dengan adanya (teori) konspirasi dalam kekuasaaan di mana terjadinya kontrol atas kelas pherypheral tersebut

Dominasi pun bisa terlihat pada kondisi adanya pengekangan atas kelompok minoritas oleh mayoritas yang dominan ada. Biasnya dapat meluas pada muncunya isu-isu yang bergenre rasial serta kejadian genocide seperti kisah holocaust yang dipahami oleh kubu ekstrim zionis Yahudi.

c. Hegemoni
Namun, beberapa pemikir berpendapat bahwa kelanggengan kekuasaan tidak hanya diperoleh dengan penggunaan kekerasan represif atau dominasi, termasuk penggunaan teori konspirasi dalam kekuasaan. Antonio Gramsci, pemikir Marxian asal Italia memandang kekuasaan itu lebih efektif dipertahankan dengan penggunaan prinsip hegemoni dengan melihat bahwa pertarungan kekuasaan dapat dipandang sebagai sebuah pertarungan ide-ide yang dapat mempengaruhi hasrat dan tingkah laku seseorang dengan branding image yang lebih manusiawi.

Prinsip hegemoni dalam reproduksi kekuasaan ini adalah berupa perekayasaan idealitas masyarakat dengan cara-cara stimulasi dan perekayasaan realitas sehingga realitas yang dikonsumsi dan diyakini oleh masyarakat adalah realitas hasil cipta dari sebuah pertarungan ide-ide. Kehadiran media massa (yang mereproduksi iklan, lifestyle dan sebagainya) dalam mereproduksi ide-ide hibrid menjadi sangat penting untuk merekayasa realitas yang simulatif dan simultan, sehingga realitas ada pada kondisi hiperralitas. Realitas kedua, realitas yang pseudo. Selain media massa, negara dalam wujud struktur aparatus ideologisnya menjadikan penciptaan atau tepatnya perekayasaan kesadaran masyarakat sangat efektif menurut Althusser. Aparatur ideologis inilah yang sangat erat kaitannya dengan suntikannya pada lembaga pendidikan, keagamaan, kesenian dan sebagaimnnya dalam rangka penciptaan narasi besar dan aturan main.

4. Epilog; Penguasa dan Moralitas Kekuasaan
Kedekatan seseorang dalam makna subyek dengan kekuasaan sama halnya dengan kedekatan seorang nasabah terhadap bank untuk mendapatkan kredit serta fasilitas-fasilitas yang disediakan. Dalam kedua keadaan tersebut, yang diperlukan adalah kesanggupan untuk mendapatkan akses dan kemampuan untuk menciptakan kepercayaan.

Ketika kepercayaan ada, maka seseorang akan mendapatkan kemudahan akses. Namun kettika kepercayaan itu hilang, maka hilang pulalah kemudahan akses dan hal itu berarti kekuasaan menjadi jatuh.

Kepercayaan yang dimaksudkan di atas, bukanlah serta merta hanya pada ranah legitimasi saja, melainkan lebih pada wilayah bangunan moralitas yang diciptakan oleh kekuasaan di masa berkuasanya. Bisa saja, legitimasi formal-prosedural masih ada di tangan penguasa, akan tetapi leagitimasi informil berupa pengakuan serta pencitraan tirani para penguasa akan menjadi mesin akselerator kejatuhannya yang hanya menunggu waktu.

10 November 2008

SKIZOFRENIA & MASYARAKAT MATI RASA

Kata Kunci: kritik media, public-sphere, ekonomi neoliberalism, alienasi

Prolog; Semesta Hampa Makna
Manusia lahir, hidup dan mengakrabi makna-makna melalaui selang-selang pengetahuan yang salah satu inang pengasuhnya bernama informasi. Mazhab apapun akan mengakui bahwa informasi sebagai ruang hilir-mudiknya pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber, bahkan pada hal-hal yang telah terlanjur dianggap berada di luar area logis atau mitos semata. Kita memang sedang berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tapi juga begitu hampa makna (Jean Baudrillard). Kosmologi kehampaan makna inilah yang kemudian menjadi orangtua baptis dari kegamangan, kegalauan, kesimpangsiuran yang dalam terminology sederhana setara dengan anomaly di realitas dengan kemarau krisis yang memanjang. Manusia-manusia yang hadir di realitas ini pun adalah makhluk yang telah tersublimasi tata nilai dan geraknya. Screen realitas yang terpampang pun juga adalah realitas sublime, realitas artifisial yang lahir ketika citraan telah menggeser realitas yang dicitrakannya(hiperrealitas). Hiperrealitas inilah yang kemudian menjadi kepompong lahirnya peradaban yang telah terpotong nilai intrinsiknya oleh komodifikasi demi penciptaan komoditas yang laik pasaran.
Hukum besi sejarah memang tunduk di hadapan daulat waktu yang bermahkotakan perubahan, di mana proses suksesinya ditandai dengan perpindahan dari kelampauan menuju kebaruan yang terus-menerus. Namun, ternyata perpindahan itu bukannya lahir dan berproses di ruang hampa “pemberian makna” melainkan melewati tarung interest dalam penentuan warna serta kemasannya. Sehingga patut dimaklumi bahwa yang mencuat kemudian di kosmologi kehampaan inipun bukanlah sesuatu yang bebas nilai dengan obyektifitas seadanya, melainkan konstruk yang menyerap banyak energy keabsahan, kewajaran & ke-halalan.
Informasi melalui berbagai macam medium memang sangatlah penting di saat terjadi keterpindahan otoritas dari sebuah tatanan lama, akan tetapi keberlimpahan informasi yang berwujudkan kesimpang-siuran hanya akan semakin mempertegas watak ambivalen dari mesin-mesin produksi informasi. Di satu sisi, kelimpahan informasi berderma dengan pengayaan referensi dalam penentuan pilihan, tapi di sisi lain menciptakan kebisingan dan keterpelintiran dari maknanya yang azali. Dekonstruksi pun menjadi tersesat di tengah terowongan gelap dan manusia-manusia di dalamnya mengalami kemiskinan optikal atau malah kebutaan pandangan di tengah ruang berlimpah warna, kesunyian di tengah ragam nada, kehausan di tengah telaga. Inilah era di mana amplop surat terbawa oleh tukang pos sementara isi suratnya masih dalam angan penciptaan dan penerimanya dengan riang berlari menjemput birahi tukang pos di semak ritual filantropi yang telah tergadai di loakan moralitas pasar. Zombie yang berjalan di belantara hidup. Paradoks, Hampa.

Skizofrenia & Hiper-x
Skizofrenia, didefinisikan sebagai “. . .putusnya rantai pertandaaan, yaitu, rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna” (Jacques Lacan). Ketika rantai pertandaaan terputus, yaitu ketika penanda tidak lagi berkaitan dengan petanda dengan ikatan yang pasti, maka yang kemudian tercipta adalah ungkapan skizofrenik, berupa serangkaian penanda yang satu sama lainnya tidak berkaitan, yang tidak mampu menghasilkan makna. Satu penanda tidak lagi terikat pada satu petanda, sebagai ciri dari ungkapan bahasa yang ‘normal’ (konvensional). Di dalam bahasa skizofrenia, “. . .semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep atau petanda. Yang kemudian terjadi adalah persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep. Di dalam wacana hiper-realitas media, tanda-tanda digunakan di dalam sebuah ajang ‘permainan penanda’ (free play of signifiers), yang menciptakan kondisi kegalauan bahasa dan informasi yangdi dalamnya pencarian makna dan kebenaran menjadi mustahil.
Ketunggang-langgangan informasi dengan kecenderungan subversive (dekonstruksi) terhadap kode-kode sosio-kultual dan moral yang tanpa batas sehingga kekaburan limitasi pada gilirannya adalah sebuah dunia ketelanjangan yang serba tersingkap, serba diekspose. Di dalamnya tidak ada lagi batas-batas mengenai baik/buruk, benar/salah, boleh/tak-boleh, berguna/tak-berguna untuk ditampilkan di screen dan menciptakan semacam kondisi hiper-moralitas, yaitu lenyapnya batas-batas moral itu sendiri di dalam wacana ketelanjangan media (Yasraf A. Piliang). Akutnya, scizofrenia menjadi sindrom yang tak lagi mendatangkan resah bagi pengidapnya, karena limitasi normalitas & abnormal tak lagi menemukan tirai pembatas pada kode-kode nilai, moral, social dan cultural. Tunggang-langgang, simpang-siur…chaos.

Lucifer Berwajah Malaikat & Masyarakat Mati Rasa
Sebelumnya kita telah memahfumkan bahwa di semesta hampa makna, bermain berbagai banyak interest dan yang paling berkepentingan bagi penentuan pengemasan konstruk dan pemaknaan realitas adalah interest ekonomi dan kekuasaan politik. Interest ekonomi & kekuasaan politik inilah yang akan mentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung kebenaran (truth) atau kebenaran palsu (pseudo-truth); menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas (reality) atau mensimulasi realitas (simulacrum).
Publik dan masyarakat pada umumnya, terperangkap di tengah arus kepentingan ekonomi (pasar-global) dan hasrat kekuasaan bertabiat rakus yang menjadikan mereka sebagai ‘mayoritas yang diam’ (silent majority) yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi di ranah publik (public sphere) mereka sendiri, massa yang tidak mempunyai daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda yang telah dikomunikasikan kepada mereka. Sialnya lagi, yang tertangkap malah tanda-tanda dari realitas artificial, realitas citraan yang dicangkokkan dan menjadi benalu di realitas yang dicitrakannya.
Di satu pihak, ketika ranah publik dikuasai oleh ‘politik informasi’ (politics of information) atau ‘politisasi informasi’, yang menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi ‘perpanjangan tangan penguasa’ dengan menguasai ruang publik tersebut (seperti pers Orde Baru); di pihak lain, ketika ia dikuasai oleh ‘ekonomi-politik informasi’ (political-economy of information), informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara mengeksploitasi publik, sebagai satu prinsip dasar dari kapitalisme. Massa yang dikepung oleh berjuta tanda dan citra, tidak mampu lagi menginternalisasikan makna yang dihasilkannya. Massa dengan manusia-manusia yang telah mati rasa. Kematian premature menjadi wabah yang mengancam eksistensi manusia beserta ruang kemanusiaannya.

Pre-Epilog; Massa Kritis di Atas Perahu Nabi Nuh
Tentunya, sebelum kiamat dengan realitas kematian yang lebih factual, kita masih dianugerahi satu keberuntungan oleh perjalanan waktu yakni peluang kreatifitas untuk mencegah berkembangnya hiper-realitas, banalitas ke arah sifat dan efek-efek yang ekstrim, yaitu ke arah turbulensi total, ketidakmungkinan kebenaran, serta massa yang apatis maka langkah antisipasif kiranya dapat ditempuh. Pertama, penciptaan kondisi de-hiper-realitas (de-hyper-reality), yaitu pengendalian ekstrimitas komunikasi dan informasi yang akan tersampaikan ke massa/public, melalui regulasi sampai pada sebuah batas, yang di dalamnya informasi yang dapat diinterptretasikan dan dicerna oleh masyarakat secara logis dan bermakna. Kedua, memperkuat jaringan civic education, untuk menciptakan masyarakat warga sebagai ‘mayoritas yang kritis’ (the critical majorities), yaitu warga yang mempunyai daya kritis, daya tangkal dan daya resistensi yang kuat terhadap informasi, bukan massa sebagai ‘mayoritas yang diam’ (the silent majorities). Ketiga, menciptakan counter-media, yaitu media-media publik (televisi publik, radio-publik, koran-publik), yang tumbuh dari publik, diawasi oleh publik, dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik yang sangat beraneka-ragam (keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan). Tentunya hal itu hanya terlahir dari manusia-manusia tercerahkan, -rausyanfikr dengan militansi ideologis dan kecakapan metodologik yang tangguh bergerak bersama massa aksi membebaskan keterjajahan masyarakat yang diam dalam kecemasan.

bersambung…

f.n:
- disampaikan pada training HMK FMIPA UNHAS, di BAPELKSES Antang-Makassar, 7 Juni 2008 .
- dicopy-paste dari berbagai sumber.
- setiap karya pengetahuan wajib dibajak

01 November 2008

Anggap Saja Inimi Judulnya

jika seorang wanita menangis di hadapanmu
itu berarti dia tak dapat menahannya lagi

jika kamu memegang tangannya saat dia menangis
dia akan bersamamu sepanjang hidupmu

jika kamu membiarkannya pergi,
dia tidak akan pernah kembali lagi
menjadi dirinya yang dulu,
selamanya...

seorang wanita tidak akan menangis dengan mudah,
kecuali di depan orang yang amat dia sayangi
dia menjadi lemah

seorang wanita tidak akan menangis dengan mudah,
hanya jika dia sanngat menyayangimu,
dia akan menurunkan egoisnya

lelaki,
jika seorang wanita pernah menangis karenamu,
tolong pegang tangannya dengan penuh pengertian

dia adalah orang yang akan tetap bersamamu
sepanjang hidupmu

lelaki,
jika seorang wanita menangis karenamu
tolong jangan menyia-nyiakannya

mungkin karena keputusanmu,
kau merusak kehidupannya

saat dia menangis di depanmu,
saat dia menangis karenamu,

lihatlah matanya....
dapatkah kau rasakan
sakit yang dirasakannya ?

pikirkan...

wanita mana-lagikah yang akan menangis
dengan murni, penuh rasa kasih sayang,
di depanmu
dan karenamu....

dia menangis bukan karena dia lemah
dia menangis bukan karena dia menginginkan simpati
atau rasa kasihan

dia menangis,
karena menangis dengan diam-diam
tidaklah memungkinkan lagi

lelaki,
pikirkanlah tentang hal itu

jika seorang wanita mengisi hatinya
untukmu,
dan semuanya karena dirimu
inilah waktunya untuk melihat
apa yang telah kau lakukan untuknya,

hanya kau yang tahu jawabannya...

pertimbangkanlah
karena suatu hari nanti
mungkin akan terlambat untuk menyesal,
mungkin akan terlambat untuk bilang 'MAAF'!!!


(tulisan anonim ini daku temukan di antara jejeran puntung rokok yang sedang apel siaga. entah ditulis oleh siapa & untuk apa...pastinya tidak sepertiji cerita pembuka Dunia Sophie. Ditulis kembali untuk kepentingan yang beraneka-ragam corak & variannya,...mulai dari target meluluhkan kebringasan hati sampai sbagai komoditas politik ala pilkada-pilkada'an.....namanya juga isengji..issengko deh)