08 September 2008

Adios!?

Adios!

Ini
ucapan ternikmat kepada malam yang telah menelantarkanku di kedinian
pagi. Meski remeh dalam melatahkannya, tak semua mampu menelan apa
yang telah usai terkunyah masa.

***

Seniorita,

Aku
tak terlampau peduli, entah sampai kapan lakon-oral itu menelikung
kita dalam peruntungan takdir yang menjerat. Memang, Tuhan tak sedang
bermain dadu apatah lagi sedang bergaduh menertawakan kejenakaan
bumi. Ia, konon dari kumalnya al-Kitab, malah sangat
care
menelongsorkan tangan-Nya meski harus
membelai duri dan menetaskan ceceran darah dari luka yang telah
dijilati
lucifer,…terkaratkan
dan usai. Maka dari lebatnya kumis
Nietzhe mengalirlah air liur ratapan, tuhan
telah mati. Sekali lagi aku ikut berkabung di redupnya malam,
menjelang pagi yang menghardik pementasan. Tentunya penopengan kita
atas nama ideologi adalah penyandaran
profesionalisme
yang terpahami”, setidaknya dari
perbincangan-perbincangan kita sejak dari terbitnya matahari yang
kemarin.

Seniorita,

Aku
sudah terlampau tabah untuk tidak sering
ber-jejalan
di halte-halte, menghadang truk-truk besar yang konon di dalamnya
terbungkus matahari dengan keju, tawas dan kondom.
Aji
mumpung
memang teramat lembut untuk
dikunyah, tapi itu buat mulut-mulut yang tega mencret tanpa celana
dan membiarkan jantungnya dikunyah
stroke.
Maka kurelakan kakiku menelusuri jalanan panas berdebu, menyinggung
nurani
traffic light
yang banyak dikedip-kedipkan di koran-koran, televisi dan pasar
moral. Aku memilih tak berlabel dan tak berharga ketimbang terjual!!.

Seniorita,

Jikalau
aku bertanya, “mengapa tak kau tepis juga tangan kekar yang
menjamah kemaluanmu itu?”, tegakah
seniorita
menepiskan lagi (tanyaku ini) menjadi
sekumpulan kata prihatin tentang pembungkaman yang didiamkan!?.
Ah…
seniorita, bahasa
kita terlampau pelik untuk lugas dalam kejujuran menjawab pertanyaan.
Basa-basi sudah bukan barang basi lagi. Kan ada
fresher
dan bahan sintetik yang mampu
mengawetkannya. Ditambah lagi dengan operasi plastik serta injeksi
silikon pada kelamin kita. Segalanya menjadi
instant
dalam keruwetan
kabel-kabel sibernasi. Pun tulisan ini
terperangkap di dalamnya.

Tapi
seniorita
,

Jangan
coba-coba ber-milik kehendak untuk berpaling. Lehermu sudah ditumbuhi
paku dan kawat berduri penahan massa berontak. Tak ubahnya
herder,
matamu memang masih sering menjilat
empati tapi syaraf simpatimu telah dijadikan tali jemuran kulit-kulit
domba yang dianggap
deviant.
Aku pun mulai jijik padamu, seniorita.
Sungguh, aku ingin menjambak rambutmu,
tapi tidak sebagai halnya jambakan di masa kecil dulu.

***

Jujur,
aku tak pernah menyangka secepat itu gelombang dera dititipkan oleh
majikanmu, terlebih ketegaanmu menerimanya hanya karena
seniorita
nge-fans
berat dengan Abraham
Lincoln
dan
rindu sayatan tangis.

Aku
sangat kaget
seniorita. Terlampau
sempit waktuku menjamah penyelesaian acaknya
puzzle
ini, sebab pagi sudah mengintai dan
menembakku jatuh. Roboh tanpa label, tanpa harga.

Adios,
seniorita!

Makassar,15 Februari 2005, 04.41
wita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

karena kata adalah perisai
silahkan menyelimuti 'diri anda'
dengan perisai yang rasional, berbudaya dan senantiasa tidak bertentangan dengan pancasila & uud 45
...daripada dituduh makar??