Adios!
Ini
ucapan ternikmat kepada malam yang telah menelantarkanku di kedinian
pagi. Meski remeh dalam melatahkannya, tak semua mampu menelan apa
yang telah usai terkunyah masa.
***
Seniorita,
Aku
tak terlampau peduli, entah sampai kapan lakon-oral itu menelikung
kita dalam peruntungan takdir yang menjerat. Memang, Tuhan tak sedang
bermain dadu apatah lagi sedang bergaduh menertawakan kejenakaan
bumi. Ia, konon dari kumalnya al-Kitab, malah sangat care
menelongsorkan tangan-Nya meski harus
membelai duri dan menetaskan ceceran darah dari luka yang telah
dijilati lucifer,…terkaratkan
dan usai. Maka dari lebatnya kumis Nietzhe mengalirlah air liur ratapan, tuhan
telah mati. Sekali lagi aku ikut berkabung di redupnya malam,
menjelang pagi yang menghardik pementasan. Tentunya penopengan kita
atas nama ideologi adalah penyandaran profesionalisme
”yang terpahami”, setidaknya dari
perbincangan-perbincangan kita sejak dari terbitnya matahari yang
kemarin.
Seniorita,
Aku
sudah terlampau tabah untuk tidak sering ber-jejalan
di halte-halte, menghadang truk-truk besar yang konon di dalamnya
terbungkus matahari dengan keju, tawas dan kondom. Aji
mumpung memang teramat lembut untuk
dikunyah, tapi itu buat mulut-mulut yang tega mencret tanpa celana
dan membiarkan jantungnya dikunyah stroke.
Maka kurelakan kakiku menelusuri jalanan panas berdebu, menyinggung
nurani traffic light
yang banyak dikedip-kedipkan di koran-koran, televisi dan pasar
moral. Aku memilih tak berlabel dan tak berharga ketimbang terjual!!.
Seniorita,
Jikalau
aku bertanya, “mengapa tak kau tepis juga tangan kekar yang
menjamah kemaluanmu itu?”, tegakah seniorita
menepiskan lagi (tanyaku ini) menjadi
sekumpulan kata prihatin tentang pembungkaman yang didiamkan!?.
Ah…seniorita, bahasa
kita terlampau pelik untuk lugas dalam kejujuran menjawab pertanyaan.
Basa-basi sudah bukan barang basi lagi. Kan ada fresher
dan bahan sintetik yang mampu
mengawetkannya. Ditambah lagi dengan operasi plastik serta injeksi
silikon pada kelamin kita. Segalanya menjadi instant
dalam keruwetan
kabel-kabel sibernasi. Pun tulisan ini
terperangkap di dalamnya.
Tapi
seniorita,
Jangan
coba-coba ber-milik kehendak untuk berpaling. Lehermu sudah ditumbuhi
paku dan kawat berduri penahan massa berontak. Tak ubahnya herder,
matamu memang masih sering menjilat
empati tapi syaraf simpatimu telah dijadikan tali jemuran kulit-kulit
domba yang dianggap deviant.
Aku pun mulai jijik padamu, seniorita.
Sungguh, aku ingin menjambak rambutmu,
tapi tidak sebagai halnya jambakan di masa kecil dulu.
***
Jujur,
aku tak pernah menyangka secepat itu gelombang dera dititipkan oleh
majikanmu, terlebih ketegaanmu menerimanya hanya karena seniorita
nge-fans berat dengan Abraham
Lincoln dan
rindu sayatan tangis.
Aku
sangat kaget seniorita. Terlampau
sempit waktuku menjamah penyelesaian acaknya puzzle
ini, sebab pagi sudah mengintai dan
menembakku jatuh. Roboh tanpa label, tanpa harga.
Adios,
seniorita!
Makassar,15 Februari 2005, 04.41
wita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
karena kata adalah perisai
silahkan menyelimuti 'diri anda'
dengan perisai yang rasional, berbudaya dan senantiasa tidak bertentangan dengan pancasila & uud 45
...daripada dituduh makar??