10 November 2008

SKIZOFRENIA & MASYARAKAT MATI RASA

Kata Kunci: kritik media, public-sphere, ekonomi neoliberalism, alienasi

Prolog; Semesta Hampa Makna
Manusia lahir, hidup dan mengakrabi makna-makna melalaui selang-selang pengetahuan yang salah satu inang pengasuhnya bernama informasi. Mazhab apapun akan mengakui bahwa informasi sebagai ruang hilir-mudiknya pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai sumber, bahkan pada hal-hal yang telah terlanjur dianggap berada di luar area logis atau mitos semata. Kita memang sedang berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tapi juga begitu hampa makna (Jean Baudrillard). Kosmologi kehampaan makna inilah yang kemudian menjadi orangtua baptis dari kegamangan, kegalauan, kesimpangsiuran yang dalam terminology sederhana setara dengan anomaly di realitas dengan kemarau krisis yang memanjang. Manusia-manusia yang hadir di realitas ini pun adalah makhluk yang telah tersublimasi tata nilai dan geraknya. Screen realitas yang terpampang pun juga adalah realitas sublime, realitas artifisial yang lahir ketika citraan telah menggeser realitas yang dicitrakannya(hiperrealitas). Hiperrealitas inilah yang kemudian menjadi kepompong lahirnya peradaban yang telah terpotong nilai intrinsiknya oleh komodifikasi demi penciptaan komoditas yang laik pasaran.
Hukum besi sejarah memang tunduk di hadapan daulat waktu yang bermahkotakan perubahan, di mana proses suksesinya ditandai dengan perpindahan dari kelampauan menuju kebaruan yang terus-menerus. Namun, ternyata perpindahan itu bukannya lahir dan berproses di ruang hampa “pemberian makna” melainkan melewati tarung interest dalam penentuan warna serta kemasannya. Sehingga patut dimaklumi bahwa yang mencuat kemudian di kosmologi kehampaan inipun bukanlah sesuatu yang bebas nilai dengan obyektifitas seadanya, melainkan konstruk yang menyerap banyak energy keabsahan, kewajaran & ke-halalan.
Informasi melalui berbagai macam medium memang sangatlah penting di saat terjadi keterpindahan otoritas dari sebuah tatanan lama, akan tetapi keberlimpahan informasi yang berwujudkan kesimpang-siuran hanya akan semakin mempertegas watak ambivalen dari mesin-mesin produksi informasi. Di satu sisi, kelimpahan informasi berderma dengan pengayaan referensi dalam penentuan pilihan, tapi di sisi lain menciptakan kebisingan dan keterpelintiran dari maknanya yang azali. Dekonstruksi pun menjadi tersesat di tengah terowongan gelap dan manusia-manusia di dalamnya mengalami kemiskinan optikal atau malah kebutaan pandangan di tengah ruang berlimpah warna, kesunyian di tengah ragam nada, kehausan di tengah telaga. Inilah era di mana amplop surat terbawa oleh tukang pos sementara isi suratnya masih dalam angan penciptaan dan penerimanya dengan riang berlari menjemput birahi tukang pos di semak ritual filantropi yang telah tergadai di loakan moralitas pasar. Zombie yang berjalan di belantara hidup. Paradoks, Hampa.

Skizofrenia & Hiper-x
Skizofrenia, didefinisikan sebagai “. . .putusnya rantai pertandaaan, yaitu, rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna” (Jacques Lacan). Ketika rantai pertandaaan terputus, yaitu ketika penanda tidak lagi berkaitan dengan petanda dengan ikatan yang pasti, maka yang kemudian tercipta adalah ungkapan skizofrenik, berupa serangkaian penanda yang satu sama lainnya tidak berkaitan, yang tidak mampu menghasilkan makna. Satu penanda tidak lagi terikat pada satu petanda, sebagai ciri dari ungkapan bahasa yang ‘normal’ (konvensional). Di dalam bahasa skizofrenia, “. . .semua kata atau penanda dapat digunakan untuk menyatakan satu konsep atau petanda. Yang kemudian terjadi adalah persimpangsiuran kata atau penanda untuk menyatakan satu konsep. Di dalam wacana hiper-realitas media, tanda-tanda digunakan di dalam sebuah ajang ‘permainan penanda’ (free play of signifiers), yang menciptakan kondisi kegalauan bahasa dan informasi yangdi dalamnya pencarian makna dan kebenaran menjadi mustahil.
Ketunggang-langgangan informasi dengan kecenderungan subversive (dekonstruksi) terhadap kode-kode sosio-kultual dan moral yang tanpa batas sehingga kekaburan limitasi pada gilirannya adalah sebuah dunia ketelanjangan yang serba tersingkap, serba diekspose. Di dalamnya tidak ada lagi batas-batas mengenai baik/buruk, benar/salah, boleh/tak-boleh, berguna/tak-berguna untuk ditampilkan di screen dan menciptakan semacam kondisi hiper-moralitas, yaitu lenyapnya batas-batas moral itu sendiri di dalam wacana ketelanjangan media (Yasraf A. Piliang). Akutnya, scizofrenia menjadi sindrom yang tak lagi mendatangkan resah bagi pengidapnya, karena limitasi normalitas & abnormal tak lagi menemukan tirai pembatas pada kode-kode nilai, moral, social dan cultural. Tunggang-langgang, simpang-siur…chaos.

Lucifer Berwajah Malaikat & Masyarakat Mati Rasa
Sebelumnya kita telah memahfumkan bahwa di semesta hampa makna, bermain berbagai banyak interest dan yang paling berkepentingan bagi penentuan pengemasan konstruk dan pemaknaan realitas adalah interest ekonomi dan kekuasaan politik. Interest ekonomi & kekuasaan politik inilah yang akan mentukan apakah informasi yang disampaikan oleh sebuah media mengandung kebenaran (truth) atau kebenaran palsu (pseudo-truth); menyampaikan obyektivitas atau subyektivitas; bersifat netral atau berpihak; merepresentasikan fakta atau memelintir fakta; menggambarkan realitas (reality) atau mensimulasi realitas (simulacrum).
Publik dan masyarakat pada umumnya, terperangkap di tengah arus kepentingan ekonomi (pasar-global) dan hasrat kekuasaan bertabiat rakus yang menjadikan mereka sebagai ‘mayoritas yang diam’ (silent majority) yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membangun dan menentukan informasi di ranah publik (public sphere) mereka sendiri, massa yang tidak mempunyai daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda yang telah dikomunikasikan kepada mereka. Sialnya lagi, yang tertangkap malah tanda-tanda dari realitas artificial, realitas citraan yang dicangkokkan dan menjadi benalu di realitas yang dicitrakannya.
Di satu pihak, ketika ranah publik dikuasai oleh ‘politik informasi’ (politics of information) atau ‘politisasi informasi’, yang menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi ‘perpanjangan tangan penguasa’ dengan menguasai ruang publik tersebut (seperti pers Orde Baru); di pihak lain, ketika ia dikuasai oleh ‘ekonomi-politik informasi’ (political-economy of information), informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara mengeksploitasi publik, sebagai satu prinsip dasar dari kapitalisme. Massa yang dikepung oleh berjuta tanda dan citra, tidak mampu lagi menginternalisasikan makna yang dihasilkannya. Massa dengan manusia-manusia yang telah mati rasa. Kematian premature menjadi wabah yang mengancam eksistensi manusia beserta ruang kemanusiaannya.

Pre-Epilog; Massa Kritis di Atas Perahu Nabi Nuh
Tentunya, sebelum kiamat dengan realitas kematian yang lebih factual, kita masih dianugerahi satu keberuntungan oleh perjalanan waktu yakni peluang kreatifitas untuk mencegah berkembangnya hiper-realitas, banalitas ke arah sifat dan efek-efek yang ekstrim, yaitu ke arah turbulensi total, ketidakmungkinan kebenaran, serta massa yang apatis maka langkah antisipasif kiranya dapat ditempuh. Pertama, penciptaan kondisi de-hiper-realitas (de-hyper-reality), yaitu pengendalian ekstrimitas komunikasi dan informasi yang akan tersampaikan ke massa/public, melalui regulasi sampai pada sebuah batas, yang di dalamnya informasi yang dapat diinterptretasikan dan dicerna oleh masyarakat secara logis dan bermakna. Kedua, memperkuat jaringan civic education, untuk menciptakan masyarakat warga sebagai ‘mayoritas yang kritis’ (the critical majorities), yaitu warga yang mempunyai daya kritis, daya tangkal dan daya resistensi yang kuat terhadap informasi, bukan massa sebagai ‘mayoritas yang diam’ (the silent majorities). Ketiga, menciptakan counter-media, yaitu media-media publik (televisi publik, radio-publik, koran-publik), yang tumbuh dari publik, diawasi oleh publik, dan mampu memperjuangkan kepentingan-kepentingan publik yang sangat beraneka-ragam (keadilan, kesejahteraan, kesetaraan, kebebasan). Tentunya hal itu hanya terlahir dari manusia-manusia tercerahkan, -rausyanfikr dengan militansi ideologis dan kecakapan metodologik yang tangguh bergerak bersama massa aksi membebaskan keterjajahan masyarakat yang diam dalam kecemasan.

bersambung…

f.n:
- disampaikan pada training HMK FMIPA UNHAS, di BAPELKSES Antang-Makassar, 7 Juni 2008 .
- dicopy-paste dari berbagai sumber.
- setiap karya pengetahuan wajib dibajak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

karena kata adalah perisai
silahkan menyelimuti 'diri anda'
dengan perisai yang rasional, berbudaya dan senantiasa tidak bertentangan dengan pancasila & uud 45
...daripada dituduh makar??